728x90 AdSpace

T e r b a r u
Senin, 01 Desember 2014

Kahar Muzakkar (DI/TII) dan Andi Selle (Yon 710)

Ada sebuah persepsi sejarah yang agaknya bisa dikatakan bersifat aksiomatik, ‘ Sejarah ditulis oleh sang pemenang’ . Maka yang kalah akan menjadi ampas dan musuh sejarah, ia hitam untuk selamanya, jika tidak segera diadakan reka ulang dan pembacaan yang lebih adil dan proporsional terhadap sejarah kejatuhannya.



Dalam buku-buku Sejarah Perjuangan Nasional, selalu akan kita lihat sebuah foto yang melukiskan saat bubarnya Rapat Raksaa Ikada Jakarta, di mana Bung Karno dan Bung Hatta terlihat berdiri di atas jeep terbuka, dikelilingi oleh massa republik pendukungnya. Di depan mobil seorang pemuda berdiri dengan gagah berani sambil mnggenggam klewang untuk melindungi dan mengamankan pergerakan dua pemimpin bangsa, Sang Dwi Tunggal. Dia adalah Kahar Muzakkar.

Entah mengapa tokoh pejuang yang juga ikut dalam serangan fajar ke Jogya bersama Suharto di tahun 1948, dan pernah menjadi Komandan Persiapan Tentara Seberang, tiba-tiba menghilang dan ketika muncul , telah digelari tokoh pemberontak yang katanya ingin membangun Negara Islam atau Darul Islam dan bergabung dengan Kartosuwiryo pemimpin DI/TI di Jawa Barat. Kita hanya diperkenalkan oleh aksinya yang mengacau Sulawesi Selatan dan Barat. Sementara resistensi dan perjuangan beliau terhadap rencana Resktrukturisasi dan Rasionalisasi ( Re-Ra) Bung Hatta luput dari jangkauan kognisi kita, sehingga banyak dari kita ikut-ikutan mengutuknya sebagai pengacau keamanan atau pemberontak negara.

Kahar Muzakkar jelas ingin membela anak buahnya yang akan dimasyarakatkan atau di PHK sebagai tentara oleh kebijakan Rasionalisasi Hatta yang sejatinya tidak rasional. Bersamanya ada sekitas 10.000 lebih pasukan yang telah bersedia mati demi republik dalam berbagai medan perjungan yang terancam nasibnya jadi penganggur dan kehilangan kebanggaan sebagai prajurit pejuang. Hal itulah yang secara istiqomah dan konsekwen diperjuangkan oleh Kahar Muzakkar, sampai bersedia masuk hutan dan meletakkan atribut-atribut dan pangkat ketentaraannya di depan Kawilarang. Jadi bukan karena ingin mendirikan negara Islam atau kecewa secara pribadi oleh pengangkatan Kolonel Kawilarang sebagai Panglima Daeran Militer Sulawesi.

Seorang pakar mengatakan sebuah reengineering, downzising, Re-Ra atau apapun namanya – Tanri Abeng menyebutnya rightzising- harus dilakukan dengan hati-hati dan disiasati dengan baik hingga tak menimbulkan ekses-ekses negatif. Di Jawa Tengah pada tahun 50 an muncul gerombolan bersenjata Merapi Merbabu Club ( MMC) yang sangat ditakuti karena melakukan perampokan bersenjata di mana-mana. Mereka adalah mantan tentara yang terkena RE-RA.

Cerita Andi Selle di Mandar juga kurang lebih sama. Komandan Batalion 710 itu juga membangkang atas rencana rasionalisasi Hatta. Anak buahnya yang kebanyakan tidak punya pendidikan umum memadai apalagi pendidikan militer, terancam dilikwidasi dan dibuldozer oleh proyek reengineering pimpinan nasional yang sebenarnya ‘politically incorrect’ karena mengorbankan faktor manusiawi dan nasionalisme demi efisiensi pemerintahan yang memang saat itu masih kekurangan dana.

Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika disebuah daerah banyak tentara yang tiba-tiba menganggur dan hilang harga diri dan kebanggannya. Paling sederhannya, karena mereka terbiasa memanggul senjata bukan pacul apalagi pena, ketika terdesak oleh kebutuhan sehari-hari, tentu akan melakukan tindakan tidak terpuji. Dengan terpaksa mereka pasti akan merampok bangsa sendiri yang dulu mati-matian dibela dan diperjuangkan dengan segenapa jiwa raga. Itulah cerita yang tersebar dari mulut-kemulut, bahwa battalion 710 pimpinan Andi Selle telah bertindak kejam dan bengis terhadap penduduk terutama di Mandar dan Pinrang. Padahal tidak semua tentara 710 jahat dan gelap mata.

Seorang mantan pamen Kodam 14 Hasanuddin yang diperbantukan pada batalion 710, telah menyelamatkan Bupati Majene yang pertama, Baharuddin Lopa. Konon ketika Andi Selle hendak menangkap bupati yang mau mengusut penyelewengan dan korupsi di tubuh 710, perwira itulah yang menyediakan perahu bagi bupati Lopa secara rahasia di waktu subuh untuk meninggalkan perairan Majene. Sayang pamen itu sudah meninggal dunia. Hingga detail kejadian luput dari kita. Mudah-mudahan beberapa anak buahnya yang mambantu pelarian itu masih hidup, sehingga kita bisa mengetahui secara persis tentang prilaku umum dan sepak terjang prajurit-prajurit battalion 710 yang terjanjur dianggap bengis dan kejam oleh banyak penduduk Mandar.

Ada sebuah fakta sejarah yang diungkap oleh Himawan Sutanto, mantan komandan tentara Siliwangi yang bertugas menangkap Andi Selle. Ketika terjadi perundingan antara Andi Selle yang waktu itu sebagai Komandan Korem Mappesonae dengan Jendral M. Jusuf, Panglima Kodam 14 Hasanuddin, terjadi insiden di mana disepakati selesai perundingan mereka berdua akan pergi ke rumah Bupati Pinrang. Tapi mobil yang ditumpangi mereka bukannya berbelok ke rumah bupati, tapi berjalan lurus ke arah Pare-Pare atau Makssar. Melihat ini, anak buah Andi Selle marah karena mengira komandannya akan ditangkap dan dibawa ke Makassar, artinya mereka merasa ditipu.

Mereka pun secara spontan melepaskan tembakan bertubi-tubi ke arah kendaraan yang ditumpangi andi-andi itu. Untung saja Jendral Jusuf selamat tak kurang suatu apa. Tapi selama ini yang orang tahu dari insiden saat itu, Andi Selle dan anak buahnya telah mencoba menghadang dan membunuh Jendral Jusuf.

Wallahu’alam bissawab.
  • Bagaimana Menurut Anda?