Namun, dengan kemajemukan suku, agama, ras, dan golongan, masyarakat Indonesia tentu tidak selalu mengenal siapa saja calon yang akan memimpinnya, sehingga sosialisasi dan pengenalan setiap calon kepada masyarakat sangat perlu dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah strategi–strategi komunikasi oleh setiap kandidat guna mengenalkan, menarik simpati, bahkan meningkatkan citra. Hal tersebut dibenarkan oleh Juria Ambar Haruni, “sama sih kayak strategi kalau kita juga lagi build brand, karena sebenarnya kandidat dan brand itu ada kesamaannya. Tapi yang harus kita lihat itu sebetulnya adalah strateginya. Kalau dalam brand yang kita bangun adalah image, nah kalau dalam tokoh atau kandidat yang kita bangun adalah citra,” ujar wanita yang menjadi tim sukses atau humas dari salah satu calon Gubernur DKI Jakarta 2012.
Penggunaan tim sukses yang didalamnya terdapat ahli humas dan periklanan kian marak dalam setiap pemilu. Hal tersebut dilakukan karena humas atau pegiat iklan dianggap mampu membuat suatu strategi komunikasi yang dapat mengenalkan, menarik simpati, menjalin hubungan harmonis, dan meningkatkan citra.
Menurut buku Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi, karya H.Frazier Moore, humas merupakan komunikasi dua arah yang menunjang kearah penciptaan kebijaksanaan kemudian menjelaskan, mengumumkan, mempertahankan, atau mempromosikannya kepada publik sehingga memperoleh saling pengertian dan itikad baik. Sehingga hal tersebut menjadi alasan mengapa strategi komunikasi humas dan periklanan sangat berpengaruh dalam kampanye politik suatu calon dalam pemilu.
Dengan strategi tersebut, masyarakat dibentuk opini dan persepsinya sehingga tertarik dan mau memilih seorang kandidat dalam pemilu. Strategi komunikasi politik yang dilakukan cukup beragam, mulai dengan penggunaan promosi secara tidak langsung atau disebut bellow the line seperti banner, flyer, pamflet, brosur, katalog, serta pameran. Kemudian promosi secara langsung dengan menggunakan media iklan atau above the line seperti penggunaan televisi, radio, surat kabar, internet (sosial media).
Dalam konteks pemilihan umum Gubernur Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta tahun 2012, kemunculan Jokowi-Ahok dengan kemeja kotak-kotaknya, Fauzi Bowo dengan kumisnya, Faisal Basri dengan konsep independennya, semua hal tersebut adalah suatu bentuk strategi yang direpresentasikan dengan sebuah simbol untuk kemudian dapat menarik perhatian atau awareness masyarakat Jakarta.
Berdasarkan buku Teori Komunikasi, Theories of Human Communication, Stephen W LitlleJohn dan Karena Foss, simbol menurut Sussane Langer adalah konseptualisasi manusia tentang suatu hal, ada untuk sesuatu dan bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola, atau bentuk. Sehingga dapat diartikan bahwa kemeja kotak-kotak, kumis, dan independen adalah salah satu dari banyak simbol yang kemudian memiliki suatu ide dan konsep di dalam rencana calon Gubernur DKI Jakarta. Drs. Muminto Arief sebagai dosen Komunikasi Politik, di Fakultas Ilmu komunikasi, Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama) setuju, menurutnya dalam suatu strategi kampanye, penggunaan ikon, atau simbol merupakan suatu hal yang penting.
Hal yang paling penting dalam melakukan kampanye politik dalam pemilu adalah tujuan atau objektif daripada strategi tersebut. Karena tujuan atau objektif menentukan bagaimana strategi yang akan dibuat serta siapa target audience dan target market nya. Sehingga dapat diketahui berapa dana yang dibutuhkan untuk melakukan strategi tersebut. “Yang pertama kita harus tau objektifnya Itu apa? kemudian target marketnya Itu siapa, setelah itu kita bisa tahu berapa dananya, jadi ketiga hal ini memang penting di dalam strategi komunikasi,” tambah Runi.
Selain daripada tiga faktor tersebut, hal lain yang menunjang keberhasilan suatu strategi komunikasi dalam kampanye adalah waktu. Dimana dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memenuhi beberapa proses atau tahapan hingga akhirnya persepsi atau opini publik terbentuk dan memilih kandidat dalam pemilu.
Menurut Philip Kotler dalam bukunya Marketing Management, an Asia Perspective, 1996, ada tiga proses seleksi atau tahapan ketika seseorang mempersepsikan sesuatu, yang pertama adalah Selective Attention, dimana seseorang akan mempersepsikan sesuatu berdasarkan perhatiannya. Kedua, Selective Distortion, dimana seseorang memilih informasi berdasarkan kepentingan pribadi dan menerjemahkan informasi berdasarkan pola pikir sebelumnya yang berkaitan dengan informasi tersebut. Ketiga, Selective Retention, dimana seseorang akan mudah mengingat informasi yang dilakukan secara berulang-ulang.
Tentunya tiga tahapan seseorang mempersepsikan sesuatu memerlukan waktu yang cukup panjang, dan apabila tidak, strategi komunikasi yang dilakukan dalam kampanye tidak akan berjalan dengan maksimal dan menarik perhatian publik. Mengenai strategi komunikasi dalam pemilu yang ideal, wanita yang akrab disapa Runi ini memberikan tipsnya. Menurutnya, strategi komunikasi yang ideal haruslah memperhatikan target market dan audience dengan fokus, kemudian tentukan tujuan atau objective, setelah itu barulah buat strateginya dengan fokus pada tujuan dan target.
Oleh Cheppy Setiawan
Sumber :http://mediapublica.co/2013/02/11/strategi-komunikasi-dalam-kampanye-pemilihan-umum/